Virus hati yang bernama al isyq (cinta), ternyata telah memakan banyak korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang remaja nekad bunuh diri disebabkan putus cinta, atau tertolak cintanya. Atau anda pernah mendengar kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula sejak mereka bersama menggembala domba sewaktu kecil hingga dewasa. Akhirnya sungguh tragis, Qeis benar-benar menjadi gila ketika Laila dipersunting oleh pria lain. Apakah anda pernah mengalami problema seperti ini atau sedang mengalaminya ? Mari kita simak terapi mujarab yang disampaikan Ibnul Qayyim dalam karya besarnya Zadul Ma’ad.
Penyakit al isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahabbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dariNya dan dipenuhi kecintaan kepada selainNya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu denganNya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf alaihis salam.
كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.….[Yusuf : 24].
Nyatalah bahwa ikhlas merupakan immunisasi manjur yang dapat menolak virus ini dengan berbagai dampak negatifnya, berupa perbuatan jelek dan keji. Artinya, memalingkan seseorang dari kemaksiatan harus dengan menjauhkan berbagai sarana yang menjurus ke arah itu.
Berkata ulama Salaf, “Penyakit cinta adalah getaran hati yang kosong dari segala sesuatu selain apa yang dicinta dan dipujanya. Allah berfirman mengenai ibu Nabi Musa.
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَارِغًا إِنْ كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ
Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya. ([Al Qasas : 11].
Yakni kosong dari segala sesuatu, kecuali Musa; karena sangat cintanya kepada Musa dan bergantungnya hatinya kepada Musa.
CINTA DAN JENIS-JENISNYA
Cinta memiliki berbagai macam jenis dan tingkatan. Yang tertinggi dan paling mulia ialah mahabbatu fillah wa lillah (cinta karena Allah dan di dalam agama Allah). Yaitu cinta yang mengharuskan mencintai apa-apa yang dicintai Allah, dilakukan berlandaskan cinta kepada Allah dan RasulNya. Cinta berikutnya adalah cinta yang terjalin karena adanya kesamaan dalam cara hidup, agama, madzhab, ideologi, hubungan kekeluargaaan, profesi dan kesamaan dalam hal-hal lainnya.
Diantara jenis cinta lainnya yakni cinta yang motifnya karena ingin mendapatkan sesuatu dari yang dicintainya; baik karena kedudukan, harta, pengajaran dan bimbingan, ataupun kebutuhan biologis. Cinta yang didasari hal-hal seperti tadi -yaitu al mahabbah al ‘ardiyah- akan hilang bersama hilangnya apa yang ingin didapatkan dari orang yang dicintainya. Yakinlah, bahwa orang yang mencintaimu karena sesuatu, akan meninggalkanmu ketika telah mendapat apa yang diinginkan darimu.
Adapun cinta lainnya yaitu cinta karena adanya kesamaan dan kesesuaian antara yang menyinta dan yang dicinta. Mahabbah al isyq termasuk cinta jenis ini. Tidak akan sirna kecuali jika ada sesuatu yang menghilangkannya. Cinta jenis ini, yaitu berpadunya ruh dan jiwa. Oleh karena itu tidak terdapat pengaruh yang begitu besar baik berupa rasa was-was, hati yang gundah gulana maupun kehancuran kecuali pada cinta jenis ini.
Timbul pertanyaan, bahwa cinta ini merupakan bertemunya ikatan batin dan ruh, tetapi mengapa ada cinta yang bertepuk sebelah tangan? Bahkan kebanyakan cinta seperti ini hanya sepihak dari orang yang sedang kasmaran saja? Jika cinta ini perpaduan antara jiwa dan ruh, maka tentulah cinta itu akan terjadi antara kedua belah pihak dan bukan sepihak saja?
Jawabnya ialah, bahwa tidak terpenuhinya hasrat disebabkan kurangnya syarat tertentu. Atau adanya penghalang sehingga tidak terealisasinya cinta antara keduanya. Hal ini disebabkan tiga factor. Pertama, bahwa cinta ini sebatas cinta karena adanya kepentingan. Oleh karena itu tidak mesti keduanya saling mencintai. Terkadang yang dicintai justru lari darinya. Kedua, adanya penghalang sehingga seseorang tidak dapat mencintai orang yang dicintanya, baik karena adanya cela dalam akhlak, bentuk rupa, sikap dan faktor lainnya. Ketiga, adanya penghalang dari pihak orang yang dicintai.
Jika penghalang ini dapat disingkirkan, maka akan terjalin benang-benang cinta antara keduanya. Kalau bukan karena kesombongan, hasad, cinta kekuasaan dan permusuhan dari orang-orang kafir, niscaya para rasul-rasul akan menjadi orang yang paling mereka cintai lebih dari cinta mereka kepada diri, keluarga dan harta.
TERAPI PENYAKIT AL ISYQ
Sebagai salah satu jenis penyakit, tentulah al-isyq dapat disembuhkan dengan terapi-terapi tertentu. Diantara terapi tersebut ialah sebagai berikut,
Jika terdapat peluang bagi orang yang sedang kasmaran tersebut untuk meraih cinta orang yang dikasihinya dengan ketentuan syariat dan suratan taqdirnya, maka inilah terapi yang paling utama. Sebagaimana terdapat dalam sahihain dari riwayat Ibn Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ *
Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa. Karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran (kepada perbuatan zina).
Hadis ini memberikan dua solusi, utama, dan pengganti.
Solusi pertama adalah menikah. Jika solusi ini dapat dilakukan, maka tidak boleh mencari solusi lain. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ*
Aku tidak pernah melihat ada dua orang yang saling mengasihi selain melalui jalur pernikahan.
Inilah tujuan dan anjuran Allah untuk menikahi wanita, baik yang merdeka ataupun budak dalam firmanNya.
,
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An Nisa : 28].
Allah menyebutkan dalam ayat ini keringanan yang diberikan terhadap hambaNya. Dan Allah mengetahui kelemahan manusia dalam menahan syahwatnya, sehingga memperbolehkan menikahi para wanita yang baik-baik dua, tiga ataupun empat. Sebagaimana Allah memperbolehkan mendatangi budak-budak wanita mereka. Sampai-sampai Allah membuka bagi mereka pintu untuk menikahi budak-budak wanita jika mereka membutuhkannya sebagai peredam syahwat. Demikianlah keringanan dan rahmatNya terhadap makluk yang lemah ini..
Jika terapi pertama tidak dapat dilakukan akibat tertutupnya peluang menuju orang yang dikasihinya karena ketentuan syar’i dan takdir, maka penyakit ini bisa semakin ganas. Adapun terapinya harus dengan meyakinkan pada dirinya, bahwa apa-apa yang diimpikannya mustahil terjadi. Lebih baik baginya untuk segera melupakannya. Jiwa yang telah memutus harapan untuk mendapatkan sesuatu, niscaya akan tenang dan tidak lagi mengingatnya. Jika ternyata belum terlupakan, dapat mempengaruhi keadaan jiwanya hingga semakin menyimpang jauh.
Dalam kondisi seperti ini wajib baginya untuk mencari terapi lain. Yaitu dengan mengajak akalnya berfikir, bahwa menggantungkan hatinya kepada sesuatu yang mustahil dijangkaunya itu ibarat perbuatan gila. Ibarat pungguk merindukan bulan. Bukankah orang-orang akan mengganggapnya termasuk ke dalam kumpulan orang-orang yang tidak waras?
Apabila kemungkinan untuk mendapatkan apa yang dicintainya terhalang karena larangan syariat, maka terapinya yaitu dengan mengangap bahwa yang dicintainya itu bukan ditakdirkan menjadi miliknya. Jalan keselamatan ialah dengan menjauhkan dirinya dari yang dicintainya. Dia harus merasa bahwa pintu ke arah yang diingininya tertutup, dan mustahil tercapai.
Jika ternyata jiwanya yang selalu menyuruhnya kepada kemungkaran masih tetap menuntut, hendaklah dia mau meninggalkannya karena dua hal.
Pertama : Karena takut (kepada Allah). Yaitu dengan menumbuhkan perasaan, bahwa ada hal yang lebih layak dicintai, lebih bermanfaat, lebih baik dan lebih kekal. Seseorang yang berakal jika menimbang-nimbang antara mencintai sesuatu yang cepat sirna dengan sesuatu yang lebih layak untuk dicintai, lebih bermanfaat, lebih kekal dan lebih nikmat, tentu akan memilih yang lebih tinggi derajatnya. Jangan sampai engkau menggadaikan kenikmatan abadi yang tidak terlintas dalam pikiranmu menggantikannya dengan kenikmatan sesaat yang segera berbalik menjadi sumber penyakit. Ibarat orang yang sedang bermimpi indah, ataupun berkhayal terbang melayang jauh, maka ketika tersadar ternyata hanyalah mimpi dan khayalan. Akhirnya sirnalah segala keindahan semu. Yang tertinggal hanyalah keletihan, hilang nafsu dan kebinasaan menunggu.
Kedua : Keyakinan bahwa berbagai resiko yang sangat menyakitkan akan ditemuinya jika gagal melupakan yang dikasihinya. Dia akan mengalami dua hal yang menyakitkan sekaligus. Yaitu : gagal mendapatkan kekasih yang diinginkannya, serta bencana menyakitkan dan siksa yang pasti akan menimpanya. Jika yakin bakal mendapatkan dua hal menyakitkan ini, niscaya akan mudah baginya meninggalkan perasaan ingin memiliki yang dicinta. Dia akan bepikir, bahwa sabar menahan diri itu lebih baik. Akal, agama , harga diri dan kemanusiaannya akan memerintahkannya untuk bersabar, demi mendapatkan kebahagiaan abadi. Sementara kebodohan, hawa nafsu, kedzalimannya akan memerintahkannya untuk mengalah mendapatkan apa yang dikasihinya. Sungguh, orang yang terhindar ialah orang-orang yang dipelihara oleh Allah.
Jika hawa nafsunya masih tetap ngotot dan tidak menerima terapi tadi, maka hendaklah berfikir mengenai dampak negatif dan kerusakan yang akan ditimbulkannya segera, dan kemasalahatan yang akan gagal diraihnya. Sebab mengikuti hawa nafsu dapat menimbulkan kerusakan dunia dan menepis kebaikan yang bakal diterimanya. Lebih parah lagi, dengan memperturutkan hawa nafsu ini akan menghalanginya untuk mendapat petunjuk yang merupakan kunci keberhasilan dan kemaslahatannya.
Jika terapi ini tidak mempan juga untuknya, hendaklah dia selalu mengingat sisi-sisi keburukan kekasihnya dan hal-hal yang dapat membuatnya menjauh darinya. Jika dia mau mencari-cari kejelekan yang ada pada kekasihnya, niscaya dia akan mendapatkannya lebih dominan daripada keindahannya. Hendaklah dia banyak bertanya kepada orang-orang yang berada disekeliling kekasihnya tentang berbagai kejelekannya yang belum diketahuinya. Sebab sebagaimana kecantikan sebagai faktor pendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya, maka demikian pula kejelekan merupakan pendorong kuat agar dapat membenci dan menjauhinya. Hendaklah dia mempertimbangkan dua sisi ini dan memilih yang terbaik baginya. Jangan terperdaya karena kecantikan kulit, dan membandingkannya dengan orang yang terkena penyakit sopak atau kusta. Tetapi hendaklah dia memalingkan pandangannya kepada kejelelekan sikap dan perilakunya. Hendaklah dia menutup matanya dari kecantikan fisik dan melihat kepada kejelekan yang diceritakan mengenai hatinya.
Jika terapi ini masih saja tidak mempan baginya, maka terapi terakhir yaitu mengadu dan memohon dengan jujur kepada Allah penolong orang-orang yang ditimpa musibah jika memohon kepadaNya. Hendaklah dia menyerahkan jiwa sepenuhnya di hadapan kebesaranNya sambil memohon, merendahkan dan menghinakan diri. Jika dia dapat melaksanakan terapi akhir ini, maka sesungguhnya dia telah membuka pintu taufik (pertolongan Allah). Hendaklah dia berbuat iffah (menjaga diri) dan menyembunyikan perasaannya. Jangan menjelek-jelekkan kekasihnya dan mempermalukannya di hadapan manusia ataupun menyakitinya. Sebab hal tersebut merupakan kedzaliman dan melampaui batas.
PENUTUP
Demikianlah kiat-kiat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini. Namun ibarat kata pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Sebelum terkena virus ini, maka lebih baik menghindar. Bagaimana cara menghindarinya? Tidak lain, yaitu dengan tazkiyatun nafs. Semoga pembahasan ini bermanfaat.
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan Oleh Ahmad Ridwan Abu Fairuz Al Medani. Dari Kitab Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairi Ibad, Juz 4, Hal. 265-274.
[3]. Hadis diriwaytkan oleh Bukhari 7/15 dalam bab Fadhail Sahabat Nabi, dari jalan Abdullah Ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim (2384) dalam Fadhail Sahabat, Bab Keutamaan Abu Bakar, dari jalan Abdullah Ibn Masud, dan keduanya sepakat meriwayatkan dari jalan Abu Sa’id Al Khudri.
[4]. Hadis Riwayat Bukhari 7/267dari hadis ‘Aisyah secara muallaq, dan Muslim (2638) dari jalan Abu Hurairah secara mausul
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad 6/145, 160, dan An Nasai dari jalan ‘Aisyah. Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku bersumpah terhadap tiga hal, Allah tidak akan menjadikan orang-orang yang memiliki saham dalam Islam sama dengan orang yang tidak memiliki saham. Saham itu yakni: Shalat, puasa dan zakat. Tidaklah Allah mengangkat seseorang di dunia, kemudain ada selainNya yang dapat mengangkat (derajatnya) di hari kiamat. Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali kelak Allah akan menggumpulkannya bersama (di akhirat). Kalau boleh aku bersumpah terhadap yang keempat dan kuharap aku tidak berdosa dalam hal ini, yaitu tidaklah seseorang memberi pakaian kepada orang lain (untuk menutupi auratnya), kecuali Allah akan memberinya pakaian penutup di hari kiamat.” Para perawi hadits ini tsiqah, kecuali Syaibah Al Khudri (di dalam Musnad di tulis keliru dengan Al Isyq Hadrami). Dia meriwayatkan dari Urwah, dan dia tidak di tsiqahkan kecuali oleh Ibn Hibban. Namun ada syahidnya dari hadits Ibn Masud dari jalur Abu Ya’la, dan Thabrani dari jalur Abu Umamah. Dengan kedua jalan ini, maka hadits ini menjadi shahih.
0 comments:
Post a Comment